
“Reasoning against actioning.”
Artikel hukum bikinan saya adalah saksi bisu bahwa nyatanya saya lebih suka berpikir menggunakan data, fakta, dan logika meskipun nyatanya saya tempramen yang ‘katanya’ terlalu based on perasaan.”
Jelas, saya melatarbelakangi “Reasoning against actioning” adalah untuk menyalurkan berbagai macam narasi yang saya lampiaskan. Semua ini dilatarbelakangi dengan kejadian yang saya alami. Nyatanya, sampai sekarang saya masih bergelut dengan diri saya. “Kenapa?” Sejuta pertanyaan terbelenggu. Tapi yang lebih membelenggu lagi, nyatanya saya terbelenggu dalam belenggu saya sendiri.
Begini, saya punya concern sendiri terhadap penilaian yang saya dapati. Kata orang saya sempurna, dengan keaktifan saya dalam masyarakat mungkin orang mengira saya akan selamanya menjadi yang nomor satu. Jadi itulah yang saya takutkan. Dimakan ekspetasi orang lain mungkin lebih sakit daripada terbelenggu dalam belenggu saya sendiri. Saya ini terisolasi. Saya bisa melakukan apa saja jika memang kehendak saya. Akan tetapi semua tindakan saya selalu dikontrol, entah dengan siapa saja. Saya merasa dikontrol, sebab saya ini tak lain dan tak kurang hanya sebagai hantu berjiwa kosong. Jiwa saya kekurangan emosi… Orang lain selalu menyuruh saya melakukan ABC lantas D. Lalu saat saya merengek, saya dianggap “salah sendiri” dikarenakan tidak menolak saja. Ya! Saya akui, saya memang punya hak menolak. Akan tetapi saat saya menolak, lantas siapa yang menolong mereka?
Saya dengar banyak wajah-wajah menunggu. Yang tampaknya mereka adalah di bawah saya, jelas. Nah, saya yakin, tak ada lagi hal yang saya bisa banggakan dari diri saya selain “bisa mengarang postulat”. Aneh, kan? Jelas… Apalagi yang tak aneh dari “seorang anak dengan segala macam masalahnya dalam ranking, tetapi tetap dicap pandai”. Ranking saya di kelas pada masa lalu? 28… 23… Bahkan, saya pernah jadi ranking terakhir.
Saya miris. Dengan kemampuan menulis saya, saya bahkan pernah mendapatkan nilai 77 di mata pelajaran bahasa Indonesia. Sudah jelas, kan? Saya itu bukan diciptakan untuk menjadi nomor satu! Saya itu hanyalah pion yang akan digerakkan orang lain. Saya bukan pengontrol mereka… Lantas mereka yang mengontrol saya.
Saya hanya ingin membuktikan bahwa anak yang selalu dijadikan pilihan kedua (atau tepatnya selalu gagal) ini telah berkembang menjadi penulis yang luwes dalam menyampaikan gagasannya.
Nyatanya, diam saya adalah saksi bisu bahwa saya telah berdemokrasi…